Apakah Pohon Pinus Mempunyai Rahasia?
Widuri Andrian membuka kaca mata hitamnya. Dari kaca spion dilihatnya
rambutnya yang sedikit acak-acakan. Dengan jari tangannya yang putih dan kokoh
karena rajin fitness dan angkat barbell, dirapihkannya anak rambut di depan
matanya. Sambil tangan kirinya tetap memegang helm arai hitamnya. Dia tidak
turun dari motor, dia nampak menunggu seseorang di depan sebuah gedung ruko
bertingkat lima. Dilihatnya jam tangan di pergelangan tangan kanannya, tak lama
ia bergumam pelan. “Masih lama.” Dia mengeluarkan handphone Blackberry dari
saku celananya. Mulai asik ber-facebook ria. Dilihatnya setiap status dari
teman-temannya, tidak ada yang menarik untuk dikomentari. Gumamnya lagi.
Kemudian ia masuk ke profil seorang gadis berjilbab lebar, sahabatnya waktu di
kampus dulu. Sahabat yang sama-sama bergabung di Rohis juga. Dilihatnya sebuah
status yang terakhir di update-nya. Sekitar dua minggu yang lalu. Pelan-pelan
dibacanya setiap Komen yang ada di bawahnya. Taklama jari tangannya berhenti
pada sederet status yang bertuliskan curhatan hati gadis itu. “Aku mencintaimu,
tapi aku lebih mencintai Tuhanku. Ketika segala doa Istikhorohku kupanjatkan,
aku harus kecewa ketika bayangan yang hadir semakin jelas, bukan bayanganmu.”
Dibawahnya terdapat 15 komen yang menanyakan maksud dari kata-katanya, tapi
tidak ada satupun jawaban darinya yang menjelaskan maksud tulisannya. Dasar
gunung es, batin Andrian. Dia tersenyum sedikit. Gunung es adalah panggilan
Andrian untuk gadis itu. Seperti tampilan gunung es, ia seolah dingin dan
teguh, sementara jauh di dalam jiwanya, ia adalah wanita yang rapuh. Tiba-tiba
hadir pertanyaan yang hampir sama dengan beberapa koment yang bertanya pada
statusnya. “Maksudnya apa yah? Apa mungkin, ah gak mungkin ah..” Hatinya
bertanya. Mata Andrian menerawang pada kemacetan lalu lintas di jalan raya,
sementara hatinya menjadi tidak jelas. Sepertinya ada sesuatu yang
diharapkannya. Tiba-tiba suara lembut seorang gadis mengejutkannya. Membuyarkan
lamunannya. “Dor…!” Tepukan keras di bahunya hampir menghilangkan keseimbangan
kakinya. Sedikit kesal ia mengomel kearah gadis manis itu. “Rese.” Andrian
cemberut kearahnya. Sementara Chaira, si gadis manis itu hanya membalas dengan
senyuman. “Mikirin apa sih, Mas…?” Chaira mendekatkan wajahnya ke depan wajah
Andrian. Andrian sedikit terkejut. Dia menarik wajahnya beberapa senti dari
wajah Chaira. Chaira kembali tertawa renyah.
“Kayaknya lagi mikirin yang lain neh. Bikin jelous aja.” Chaira cemberut. “ga
mikirin apa-apa kok. Udah, Mau pulang gak?” Andrian langsung memberikan helm
kearah Chaira. Chaira langsung menerimanya, masih dengan ekspresi kesal karena
tidak mendapatkan jawaban apapun dari pertanyaannya. Chaira langsung duduk di
belakang Andrian, dan memegang pinggang Andrian erat. Andrian langsung memakai
helmnya dan langsung kembali tancap gas menikmati kemacetan daerah Ciputat.
Semenjak reunian SMA 2 Mei tahun lalu, tak sengaja mempertemukan Andrian dengan
sahabat sekelasnya dulu, Chaira. Sejak itulah kedekatan itu mulai berubah
menjadi hubungan yang istimewa antara keduanya. Mestinya Andrian telah wisuda
tahun lalu, tapi karena kesalahannya dulu akhirnya ia harus rela menunda
setahun masa kuliahnya. Andrian tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Hukum di
sebuah Universitas di Pamulang setiap hari selalu menjemput Chaira ke Kantornya
yang kebetulan dekat dengan kampusnya di daerah Ciputat, baik dengan motornya
atau dengan Honda civic milik kakaknya. Selama perjalanan, Andrian hanya diam.
Chaira pun menjadi tidak semangat untuk menggodanya. Taklama motor Ninja Hitam
itu memasuki komplek perumahan elit di Pamulang. Setelah gang kedua, Andrian
langsung membelokkan motornya ke kiri dan taklama ia pun berhenti di sebuah
rumah minimalis bercat hitam abu-abu. Tanpa mematikan mesin motor, Chaira
langsung turun dari motor Andrian. Baru ia akan mempersilahkan Andrian mampir,
Andrian malah langsung pamit pulang. Chaira semakin kesal dan bingung
dibuatnya. Dengan mulut yang agak maju lima senti, ia langsung menghambur masuk
ke kamar. Andrian kembali menikmati kemacetan lalu lintas menuju rumahnya. Di
bundaran Pamulang depan Kampusnya, ia sedikit ragu. Ada sedikit keinginan untuk
mengulang masa lalunya beberapa tahun yang lalu. Saat ia dan gadis itu
sama-sama masih berkuliah dan aktif di Organisasi yang sama. Ia langsung
memasuki gerbang kampus, satpam jaga yang baru satu jam yang lalu memberikan
kartu parkir padanya sedikit heran. Kesal tepatnya, karena ia harus kembali
mencatat nomor motor Andrian di catatan kendaraan masuk. Setelah memarkir
motornya, ia langsung berjalan ke basement mengamati setiap sudutnya. Ia
terhenti di depan sekertariat Rohis. Sekarang, hanya UKM ini yang tidak ada
penghuninya. Hanya tumpukan debu dan deretan buku-buku agama Islam yang menjadi
saksi bisu ketika Ia dan rekan-rekannya membangun Rohis kala itu. Sekarang
Rohis sepi. Semenjak beredarnya isu kalau Rohis di kampusnya beraliran sesat,
yang mengharuskan setiap anggotanya membayar infaq yang besar, bahkan tak
jarang setiap anggotanya harus berbohong kepada orang tuanya. Bahkan yang lebih
parah, Andrian mulai sering meninggalkan sholat. Padahal sholatlah kekuatan
seorang muslim dalam berda’wah. Dulu juga ia melakukan itu semua, sebagai
bentuk pengorbanan kepada Islam, tapi yang melakukan sebenarnya hanya dia,
bukan rohisnya, bukan teman-temannya. Ia yang jahat, karena Ia lah yang
menggunakan jabatannya sebagai ketua Rohis untuk mengajak adik kelasnya masuk
ke aliran yang dianggap sesat itu. Ada sedikit sesal dalam hatinya. Ia merasa
bersalah atas semuanya. Terlebih, kepada Deriska. Hanya Deriska lah yang tahu
semua yang dilakukannya. Karena saat itu, Deriska lah orang yang ingin
diajaknya untuk sama-sama masuk ke aliran itu. Tapi Deriska tidak pernah mau,
bahkan saat itu dia sendirilah yang mulai menjauhi Deriska, karena menurutnya
mengajak orang yang tidak diberikan hidayah oleh Allah hanya akan membuang
waktu saja. Sejak itu Andrian semakin hanyut dalam berbagai pengorbanannya di
organisasi itu, ia semakin sering bolos dan membuat semua nilai-nilai kuliahnya
anjlok. Bahkan, untuk hitungan mahasiswa yang terbilang cerdas, ia harus
menerima IPK 1,7 saat semester enam. Air matanya sedikit menggenang ketika
mengingat semua kejadian itu. Ketika hampir membentuk anak sungai di pipinya,
tiba-tiba ada sebuah tangan kokoh yang memegang bahunya. “Belum pulang?” Tanya
suara tegas di belakangnya. Andrian langsung membalikkan badannya memandangi
orang yang mengajaknya berbicara. “Belum, Pak. Masih pengen di Kampus.”
Jawabnya dengan sedikit malu. “Kenapa, ada yang ingin diceritain?” Tanya
laki-laki berbadan tegap itu selanjutnya.
Andrian hanya membalasnya dengan sebuah anggukan, dan langkah kaki menuju
sebuah kursi panjang. Ia melepas tasnya dan mempersilahkan laki-laki itu duduk
di sebelahnya. Laki-laki yang bernama Pak Kuncoro langsung duduk di sebelahnya.
Dulu mereka begitu dekat, sebagai ketua dan Pambina Rohis. Selain sebagai
pembina Rohis, Pak Kuncoro juga dosen Hukum Bisnis, mata kuliah favoritnya di
kampus. Tapi itu dulu sekali, sebelum Andrian memilih pada pilihan yang salah.
“Kadang, saya merasa sangat bersalah Pak, melihat Rohis berhenti tanpa ada
kegiatan apa-apa. Mereka takut kalau Rohis itu sesat kan, Pak.” Andrian memulai
pembicaraan. “Yan, terjadi atau tidak terjadinya segala sesuatu itu sudah ada
yang mengatur. Mungkin ini juga ujian dari Allah, bahwa jalan da’wah itu memang
sulit. Jalan da’wah itu ibarat sebuah jalan raya pada awalnya, yang ikut pun
berbondong-bondong. Tapi kemudian semakin lama akan semakin sempit, bahkan
mungkin hanya mampu dilewati oleh satu orang saja. Karena di situlah saringan
Allah, yan.” Pak Kuncoro memberikan penjelasan. Andrian menatapnya dalam. Sorot
matanya seolah menggambarkan kesedihan yang dalam. Mungkin ia pula penyebabnya.
Dulu, dulu sekali Pembinanya ini pernah sangat berharap kalau Andrian akan
menjadi orang yang akan meneruskan langkah Da’wahnya di kampus ini, tapi
ternyata, justru ialah yang menghacurkan da’wah di kampusnya sendiri. “Bapak
marah sama saya?” Tanya Andrian kemudian. “Kenapa saya harus marah sama kamu?”
Pak Kuncoro balik bertanya. Andrian kehilangan jawaban. “Karena saya sudah
menghancurkan harapan bapak ke saya.” Jawabnya pelan. “Saya tidak pernah merasa
seperti itu. Saya bukan Tuhan yang berhak menentukan, bahkan Allah saja
memberikan pilihan kepada setiap makhluknya untuk memilih.” Tatapan Pak Kuncoro
tajam. “Saya…” Andrian tak mampu melanjutkan kata-katanya. “Yan, kalau saya
lihat terkadang kamu yang selalu menyalahkan dirimu sendiri.” “Saya kehilangan
banyak, Pak. Kehilangan saudara-saudara saya, kehilangan masa depan saya.
Saya…” Andrian memeluk Pak Kuncoro erat. Rasa penyesalannya terlalu dalam. Pak
Kuncoro menepuk-nepuk punggung Andrian berusaha menguatkan. Ia terisak cukup
lama. Pak Kuncoro pun menarik nafas berat. Ia pun merasakan kekecewaan yang
dalam atas semua yang telah terjadi, tapi inilah yang harus dijalani. “Sudah,
Yan. Semua sudah terjadi. udah bukan waktunya lagi menangisi yang sudah
terjadi. sekarang tinggal bagaimana bisa bangkit dan memulai semuanya dari awal
lagi.” Pak Kuncoro mendorong pelan bahu Andrian, berusaha menegakkan dan
menegarkan Andrian. “Pak, boleh Tanya sesuatu?” Andrian bertanya dengan suara
parau. Pak Kuncoro menjawabnya dengan sebuah anggukan. “Kabar Deriska gimana,
Pak.” “Deriska, Alhamdulillah baik. Emangnya kamu ngga pernah ada kontak lagi
sama dia?” Pak Kuncoro tersenyum menggodanya. Ia teringat sesuatu. “Saya cuma
mau minta maaf sama Dia, Pak. Saya dulu hampir menjerumuskan dia dalam
keyakinan saya. Untungnya dia punya iman yang lebih kuat dari saya.” Andrian
tersenyum kecil. “Yan, ada amanah dari Deriska. Sepertinya saya memang harus
menyampaikannya ke kamu. Sebentar.” Pak Kuncoro mengambil sebuah map biru dari
dalam tasnya. Dipandanginya sejenak map itu, ia Nampak berpikir sejenak. Dan
langsung memberikan map itu ke Andrian. “Apa ini, Pak?” Tanya Andrian
penasaran. “Baca saja sendiri. Saya sekalian pamit yah, sudah malam.” Pak
Kuncoro sedikit tersenyum dan langsung berjalan meninggalkan Andrian dan rasa
penasarannya. Andrian membolak-balik map biru ditangannya. Dengan sedikit ragu
ia membuka map itu. Rupanya berisi sepucuk surat dari Deriska. Andrian mulai
membacanya. “Assalamu’alaikum Wr.Wb. Apa kabar An? Sehat selalu kan?
Mudah-mudahan Allah selalu menjagamu untukku.” Andrian tersenyum membaca suratnya.
Dia kembali melanjutkan membaca surat itu. “An, jangan telat makan yah. Kamu
makin kurus sekarang, (kamu pasti kaget kenapa aku bisa tahu). Beberapa hari
yang lalu aku ke kampus An, aku ada urusan sedikit dengan Pak Kuncoro dan
beberapa orang dosen di kampus, dan ga sengaja aku lihat kamu di parkiran.
Sayang, sekarang aku sudah gak bisa lagi membawakanmu sari roti, roti favoritmu
untuk sarapan.” Andrian tersentak. Rupanya Deriska masih mengingat roti
kesukaannya, tepatnya makanan yang sering dikonsumsinya ketika tidak sempat
makan siang atau sarapan karena harus langsung mengikuti berbagai kegiatan di
Rohis Gadungannya. “An, kamu inget dulu aku pernah minta apa sama kamu, dan
kamu inget dulu terakhir kali sebelum kamu memutuskan komunikasimu sama aku kamu
bilang apa ke aku? Dulu kamu pernah bilang, kalau aku gak mau ikut kamu ke
komunitasmu, maka aku harus siap kehilanganmu. Padahal sejujurnya aku gak
pernah siap kehilangan kamu. Dan kamu ingat waktu itu aku pernah minta apa sama
kamu, aku bilang, kembalinya kamu kepada Islam, kepada Sholatmu adalah hadiah
terindah untukku. Tapi sepertinya itu semua gak akan pernah bisa aku lihat
lagi, An. Aku dengar sekarang kamu punya pacar, padahal dulu aku tahu kamu
tidak akan pacaran.” Dada Andrian sedikit sesak. Ia merasakan ada sesuatu yang
akan membuat jiwanya meledak. “Maafkan aku, An. Maafkan cintaku yang salah.
Kamu pikir, untuk apa aku mengikuti setiap aktivitasmu? Apa kamu pikir aku akan
mengikuti keislamanmu? Aku akan meninggalkan sholatku? Tidak An, dan berharap
tidak akan pernah. Apa kau tahu mengapa aku melakukan itu semua? Karena aku
mencintaimu, An. (Maafkan aku ya Allah, karena aku telah mengotori cintaku
Pada-Mu). Tulisan tinta pada paragraf itu nampak luntur. Sepertinya ada air
mata yang menitik disana. Dada Andrian sesak tiba-tiba. Mungkinkah? Apakah
orang yang dimaksud dalam status terakhir di facebook-nya Deriska adalah dia?
“Aku mencintaimu selama 4 tahun kita sama-sama di Rohis, An. Aku gak pernah
ngerasain perhatian seorang ikhwan yang bergitu besar padaku, sampai dia rela
meminjamkan jaketnya untuk aku pakai padahal dia sendiri kedinginan, dan kamu
mampu melakukan itu waktu kita tafakur alam. Cuma kamu yang ada waktu aku
bingung. Dulu…dulu sekali An, dalam solat istikhorohku ada kamu. Makanya disitu
aku yakin, kamu adalah jawaban dari Allah untukku. Hingga semua berubah. Hingga
mereka semua mengambilmu dari aku, dari Rohis kita dan dari Sholat-mu. Aku
benci mereka, An. Aku benci mereka yang merusakmu. Hingga aku harus berani
menerima kenyataan bahwa Andrian yang aku kenal sudah mati!” Airmata Andrian
meleleh. Ia begitu cengeng, bahkan begitu bodoh. Dia tak kuasa menahan semua
beban di dadanya. Hanya tumpukan debu dan buku-buku Islami yang mampu
menggambarkan semua kenangannya bersama Rohis yang dulu. Dengan berat Andrian
melanjutkan mambaca surat Deriska. “Hatiku kotor sekarang, An. Dadaku sesak
menyimpan semua perasaan ini, sendiri dan selama 4 tahun, An. Hingga kemudian
Allah berikan sebuah jalan untuk pembersihan hatiku. Pak Kuncoro menawarkan seorang
ikhwan yang ingin ta’aruf denganku. Awalnya aku ragu karena aku ingin selalu
menunggumu, tapi aku sadar, cinta ini Cuma aku yang punya. Cinta ini hanya aku
yang rasa, sementara kamu tidak. Hingga akhirnya aku terima proses ta’aruf itu.
Aku hanya ingin membersihkan hatiku, An. Hingga suatu malam, dalam
istikhorohku, Allah berikan jawaban yang selalu aku tunggu, sakit memang tapi
aku yakin inilah yang terbaik. Bayangan kamu dalam istikhorohku tiba-tiba
berkabut, dan wajah lain yang berganti menghiasi mimpiku. Disitu aku yakin, kau
memang yang ku inginkan, tapi ternyata bukan kau yang ku butuhkan. Maafkan aku,
An. Aku mencintaimu tapi aku lebih mencintai Tuhan-ku. Wassalam’alaikum.wr.wb.
Dengan sisa kekuatan aku menyimpanmu dalam kotak masa laluku. Deriska. Kali ini semua beban dan sesak dalam
hati Andrian berubah menjadi sebuah penyesalan yang tergambar dari aliran
sungai di pipinya. Ia benar-benar menangis. ia menyesali semuanya. Tapi entah
apa yang disesalinya. Ia berjalan gontai melewati kerumunan anak-anak yang
sedang berkumpul di depan mading. Dari bisik-bisik mereka, Andrian mendengar
bahwa Deriska akan menikah minggu depan. Andrian berlari cepat meninggalkan
basement menuju parkiran dan langsung memacu Ninjanya menuju arah gerbang
kampus. Ia tancap gas setelah mengembalikan kartu parkir ke petugas satpam yang
baru berganti tugas. Tatapan heran mereka mengiringi laju motor Andrian.
Andrian tidak pulang ke rumah. Dia bermalam di cibodas – Puncak. Perjalanan
Pamulang–Cibodas membuatnya semakin sesak. Beberapa kali ia hamper menabrak
kendaraan di depannya, atau diteriaki “gila” oleh pengguna jalan lainnya karena
ia sering menyalip kendaraan yang lain, atau meng-gas motornya dengan kencang.
Sesampainya di bumi perkemahan Cibodas, ia langsung memarkir motornya. Setelah
membeli tiket kepada petugas bumi perkemahan ia langsung berlari menembus
gelapnya malam rimbunan pepohonan. Dengan perasaan yang tak menentu. Setelah
lelah berlari, ia berhenti di tengah-tengah rimbunan pepohonan. Dulu, ia pernah
memberikan jaketnya untuk seorang gadis. Untuk deriska. Kali ini ia benar-benar
menyesal. Airmatanya mengair semakin deras. Ia menangis dalam kegelapan malam
Cibodas, menyatu dengan desiran angin malam yang menyapu wajahnya. “Aku
mencintaimu, De…lebih mencintaimu dari apa yang kau bayangkan. Aku selalu
menyimpanmu disini, De. Disini…tapi kenapa ga pernah ada kesempatan kedua
untukku, De? Semua yang aku lakuin ke kamu karena aku sayang kamu de…”. Andrian
berteriak keras sambil menepuk dadanya. Dulu.dulu sekali, persahabatan diantara
keduanya telah melahirkan rasa yang tidak seharusnya ada diantara mereka.
Hingga sulit sekali mengartikan apakah cinta yang hadir diantara mereka telah
menjadi anugerah atau ujian bagi mereka sebagai aktivis Da’wah. Hanya Allah
yang tahu seberapa besar Cinta seorang hamba kepada-Nya.[] Aku mencintaimu,
tapi aku lebih mencintai Tuhanku. Dalam kelelahanku berlari, juli 2010
(www.gaulislam.com)
0 Komentar